Bloomberg, (7/5) - Coutts & Co turunkan tingkat kepemilikan emas seiring harga yang jatuh ke $ 1.600 per ounce; dengan mengatakan bahwa kembalinya harga ke level puncak tidak akan mungkin terjadi kecuali ada krisis di Timur Tengah, melemahnya dolar atau ada lonjakan inflasi. Divisi private banking dari Royal Bank of Scotland Plc memegang sekitar 1 sampai 2 persen dari portofolio emas, dibandingkan dengan 6 sampai 7 persen pada akhir kuartal ketiga lalu, menurut Gary Dugan, chief investment officer untuk Asia dan Tengah Timur. Emas jatuh ke dalam pasar bearish pada bulan April lalu karena banyak investor menjual logam dan beralih ke aset berisiko yang didorong oleh harapan bahwa ekonomi global mulai pulih dan program stimulus moneter dari bank-bank sentral akan dikurangi. "Untuk bisa membuat harga emas naik dari level ini, dibutuhkan baik adanya krisis global atau munculnya kembali inflasi," ujar Dugan dalam sebuah wawancara di Singapura kemarin. "Saya tidak melihat adanya kejutan yang signifikan di 12 bulan kedepan terhadap inflasi, selain risiko geopolitik yang mengarah kepada kenaikan harga minyak. Kita masih punya semua bakat potensi untuk memunculkan krisis di Timur Tengah." Emas 13 persen lebih rendah sejauh tahun ini, setelah reli selama 12 tahun berturut-turut, bahkan langkah dari bank-bank sentral di seluruh dunia termasuk US Federal Reserve mencetak uang dalam jumlah sangat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk memperkuat ekonomi mereka. Bullion untuk pengiriman segera berada di $ 1,465.53 per ounce pada pukul 12:58 pm di Singapura. Harga telah mundur 24 persen dari rekor $ 1.921,15 yang tercatat pada tahun 2011 lalu. The Fed mengatakan pada tanggal 1 Mei lalu bahwa bank sentral AS akan tetap mempertahankan laju pembelian obligasi bulanan sebesar $ 85 miliar, dalam program pelonggaran kuantitatif putaran ketiga atau dikenal sebagai QE3. Namun, Deutsche Bank AG, Citigroup Inc, UBS AG dan Barclays Plc - dealer mata uang terbesar - memprediksi bahwa dolar akan naik sebanyak 9 persen terhadap euro hingga 31 Desember mendatang karena outperformnya ekonomi AS. Presiden Bank Sentral Eropa, Mario Draghi memangkas suku bunga acuan kawasan euro ke rekor rendah pada tanggal 2 Mei lalu untuk menopang pertumbuhan mengingat resesi di wilayah tersebut yang semakin mendalam, dan mengatakan juga bahwa ada kemungkinan masih bisa diturunkan lagi berdasarkan kondisi terkini. Sementara itu, Bank of Japan pada bulan April lalu mengumumkan pelonggaran moneter belum pernah terjadi sebelumnya yang bertujuan untuk mengejar target inflasi sebesar 2 persen dalam waktu dua tahun kedepan. Pada bulan Agustus lalu, Dugan mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa emas akan naik lebih lanjut karena investor dan bank-bank sentral dari emerging market mengakumulasi kepemilikan logam untuk melindungi kekayaan terhadap depresiasi mata uang. (brc)