PT. KONTAK PERKASA FUTURES - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sedang gundah gulana. Pasalnya, data perdagangan AS mengalami defisit hingga USD500 miliar atau setara dengan Rp6.650 triliun.
Trump pun memerintahkan untuk menyelidiki negara-negara mitra dagang yang dianggap penyebab perdagangan Negeri Paman Sam menjadi defisit. Ada 16 negara yang dituding: China, Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Swiss, Taiwan, Kanada dan Indonesia.
Defisit AS tertinggi datang dari China yang mencapai USD300 miliar dan defisit perdagangan AS dengan Indonesia mencapai USD8,84 miluar. Media setempat lantas menyatakan negara tersebut melakukan "kecurangan".
Menanggapi hal itu, Bank Indonesia langsung angkat bicara. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, ada executive order dari Trump pada tanggal 31 Maret, soal penyelidikan terhadap negara-negara di atas.
"Pemerintah harus mencermati AS terutama executive order dari Trump, yang paling penting dari Kementerian Perdagangan harus melakukan monitoring. BI juga memonitoring karena terkait kurs," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (5/4/2017).
Mirza menengarai keluarnya daftar tersebut pada 31 Maret 2017, seiring rencana kedatangan Presiden RRC Xi Jinping ke Amerika Serikat. "Saya melihat kenapa kok excecutive orders Trump itu tanggal 31 Maret, dalam rangka kedatangan Presiden Xi Jinping ke Amerika," ujarnya.
Terkait Indonesia yang masuk daftar pemeriksaan Trump, Mirza menjelaskan, sebenarnya ada tiga kriteria yang menjelaskan suatu negara dianggap melakukan kecurangan dan merugikan AS secara perdagangan. Pertama, kata Mirza, negara itu punya surplus lebih dari USD20 miliar terhadap AS. "Nah Indonesia tidak, hanya USD13 miliar," terangnya.
Kedua, negara yang current account-nya bersifat surplus, itu adalah negara dengan kegiatan eskpor impornya surplus pada AS. Indonesia memiliki current account defisit 1,8% atau 2% dari PDB, jadi dengan demikian tidak termasuk.
Ketiga negara yang intervensi kursnya satu arah secara terus menerus dalam setahun, yang besarnya sampai 2% dari PDB. "Artinya, intervensi kurs itu sengaja dilemahkan, sehingga ekspornya lebih murah ke AS. Indonesia kan kalau terjadi gejolak, BI masuk ke pasar, yang terjadi malah cegah rupiah terlalu lemah. sedangkan yang disasar Trump adalah yang sengaja buat lemah currency-nya," kata dia.
Adanya tiga kriteria tersebut, seharusnya tidak membuat Indonesia masuk dalam daftar Trump. Namun, lanjut Mirza, pemerintah dan BI tetap harus mencermati kondisi ini agar tidak mengganggu kegiatan perdagangan Indonesia ke luar negeri terutama AS.
"Jadi dari tiga kriteria itu, Indonesia harusnya enggak masuk. Tapi pemerintah harus terus cermati AS, karena dari executive order itu. Tiga bulan itu akan keluar laporan mengenai negara yang dianggap melakukan unfair subsidies. Yang paling berkepentingan itu teman-teman Kemendag yang harus lakukan monitoring. BI juga monitoring karena terkait kurs," pungkasnya.
Trump pun memerintahkan untuk menyelidiki negara-negara mitra dagang yang dianggap penyebab perdagangan Negeri Paman Sam menjadi defisit. Ada 16 negara yang dituding: China, Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Swiss, Taiwan, Kanada dan Indonesia.
Defisit AS tertinggi datang dari China yang mencapai USD300 miliar dan defisit perdagangan AS dengan Indonesia mencapai USD8,84 miluar. Media setempat lantas menyatakan negara tersebut melakukan "kecurangan".
Menanggapi hal itu, Bank Indonesia langsung angkat bicara. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, ada executive order dari Trump pada tanggal 31 Maret, soal penyelidikan terhadap negara-negara di atas.
"Pemerintah harus mencermati AS terutama executive order dari Trump, yang paling penting dari Kementerian Perdagangan harus melakukan monitoring. BI juga memonitoring karena terkait kurs," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (5/4/2017).
Mirza menengarai keluarnya daftar tersebut pada 31 Maret 2017, seiring rencana kedatangan Presiden RRC Xi Jinping ke Amerika Serikat. "Saya melihat kenapa kok excecutive orders Trump itu tanggal 31 Maret, dalam rangka kedatangan Presiden Xi Jinping ke Amerika," ujarnya.
Terkait Indonesia yang masuk daftar pemeriksaan Trump, Mirza menjelaskan, sebenarnya ada tiga kriteria yang menjelaskan suatu negara dianggap melakukan kecurangan dan merugikan AS secara perdagangan. Pertama, kata Mirza, negara itu punya surplus lebih dari USD20 miliar terhadap AS. "Nah Indonesia tidak, hanya USD13 miliar," terangnya.
Kedua, negara yang current account-nya bersifat surplus, itu adalah negara dengan kegiatan eskpor impornya surplus pada AS. Indonesia memiliki current account defisit 1,8% atau 2% dari PDB, jadi dengan demikian tidak termasuk.
Ketiga negara yang intervensi kursnya satu arah secara terus menerus dalam setahun, yang besarnya sampai 2% dari PDB. "Artinya, intervensi kurs itu sengaja dilemahkan, sehingga ekspornya lebih murah ke AS. Indonesia kan kalau terjadi gejolak, BI masuk ke pasar, yang terjadi malah cegah rupiah terlalu lemah. sedangkan yang disasar Trump adalah yang sengaja buat lemah currency-nya," kata dia.
Adanya tiga kriteria tersebut, seharusnya tidak membuat Indonesia masuk dalam daftar Trump. Namun, lanjut Mirza, pemerintah dan BI tetap harus mencermati kondisi ini agar tidak mengganggu kegiatan perdagangan Indonesia ke luar negeri terutama AS.
"Jadi dari tiga kriteria itu, Indonesia harusnya enggak masuk. Tapi pemerintah harus terus cermati AS, karena dari executive order itu. Tiga bulan itu akan keluar laporan mengenai negara yang dianggap melakukan unfair subsidies. Yang paling berkepentingan itu teman-teman Kemendag yang harus lakukan monitoring. BI juga monitoring karena terkait kurs," pungkasnya.
Simak juga : PT. KONTAK PERKASA FUTURES
Sumber : ekbis.sindonews