KONTAK PERKASA FUTURES - Rencana kunjungan Raja Salman bin Abdul Aziz pada tanggal 1-9 Maret ke Indonesia memunculkan kembali pentingnya hubungan kedua negara, baik secara politik, pendidikan, budaya, ekonomi dan keagamaan.
Raja Salman dijadwalkan akan bertemu Presiden Joko Widodo dan berbagai pihak lain. Pemimpin Saudi ini akan datang dengan delegasi sampai 1.500 orang, termasuk 10 menteri dan sejumlah pangeran.
Salah satu agenda kunjungan ini diperkirakan pembicaraan tentang rencana investasi senilai US$15 miliar atau Rp200 triliun.
Tetapi seperti apa sebenarnya hubungan kedua negara ini?
Apa saja hal-hal yang menjadi latar belakang dan harapan dari lawatan yang akan dilakukan dalam kunjungan pemimpin Saudi ke Indonesia, yang terakhir kalinya 45 tahun lalu?
Terorisme dan Syiah
Salah satu kerja sama Indonesia-Arab Saudi dalam bidang politik adalah dalam mengatasi terorisme dunia. Namun yang mengemuka adalah peristiwa baru-baru ini, ketika Indonesia menolak untuk menjadi bagian dari Aliansi Militer Islam pada Desember 2015, yang dipandang sebagai usaha terselubung Riyadh untuk menghadapi Irak, Suriah, dan Yaman.
"Indonesia punya prinsip non blok dan tidak mau tentaranya ditarik-tarik ke berbagai negara untuk berperang. Karena memang Aliansi Militer Islam ini diprakarsai Saudi untuk memerangi apa yang disebut Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS, lalu di Afghanistan, di Irak, di Suriah, Mesir, Libia dan barangkali juga Yaman," kata Smith Alhadar, penasehat di Indonesian Society for Middle East Studies atau ISMES.
"Nah ini ditakutkan bahwa organisasi ini hanya untuk melayani kepentingan Saudi sebenarnya, jadi bukan semata-mata terorisme."
Sementara Ali Munhanif dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memandang kedua negara sebenarnya saling bergantung dalam memerangi terorisme.
"Indonesia, dan juga Arab Saudi saling bergantung dari segi politik untuk menjaga stabilitas, keamanan dan sebagainya. Ada beberapa inisiatif namun Indonesia memang sangat reluctant untuk bergabung dalam berbagai usaha memerangi terorisme jika terkait dengan semata-mata masalah keamanan Saudi," kata dosen politik Timur Tengah di Jakarta ini.
Konservatisme dan Wahabi
Salah satu hal yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia adalah semakin meningkatnya Islam konservatif yang tidak toleran, yang dianggap merupakan pengaruh kelompok garis keras Wahabi di Indonesia.
Seperti dikatakan Ali Munhanif, "Banyak sekali ormas-ormas Islam di Indonesia yang memang terlanjur mempunyai political engagement dengan Arab Saudi melalui yayasan pendidikannya, lembaga pendidikannya dan sebagainya, yang saya kira memang itu menjadi kelemahan masyarakat kita, Muslim, untuk bisa mengkritisi sejumlah agenda politik Saudi."
Mulai dari tahun 70-an saat booming minyak sampai 2002, Saudi diperkirakan mengeluarkan sekitar US$7 miliar atau Rp93 triliun untuk negara-negara Islam miskin. Dana ini juga dipakai untuk dakwah Wahabi lewat lembaga keagamaan, masjid dan ormas, termasuk di Indonesia.
Salah satu pengaruhnya dipandang sebagian pihak terdapat di antara kelompok puritan di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan ormas seperti Front Pembela Islam (FPI).
Tetapi Smith Alhadar dari ISMES mengatakan kemungkinan besar Raja Salman tidak akan bertemu dengan pimpinan FPI Rizieq Shihab meskipun terdapat kedekatan emosional.
"Saya percaya Raja Salman tidak akan bertemu dengan Rizieq Shihab. Tapi tentu saja Raja Saudi berkepentingan dengan Rizieq Shihab dan merasa kedekatan emosional."
"Selain Rizieq Shihab adalah alumni Univeristas Ibnu Saud di Arab Saudi, dia juga sangat anti Syiah di Indonesia dan sekarang sedang naik daun di Indonesia, sehingga secara politik memegang atau berkoalisi atau beraliansi dengan Rizieq Shihab akan sangat membantu politik Arab Saudi di Indonesia," kata Alhadar.
Perdagangan tidak seimbang
Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi merupakan sumber devisa yang penting bagi Indonesia, dengan perkiraaan pada tahun 2014 mencapai US$8 miliar atau sekitar Rp100 triliun.
Tetapi karena terjadinya sejumlah masalah seperti pembunuhan dan perkosaan, Indonesia menerapkan moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI baru ke Arab Saudi.
Smith Alhadar pesimis hal ini bisa terselesaikan lewat lawatan Raja Salman karena masalahnya juga bersumber dari perbedaan kebudayaan kedua bangsa.
"Keluarga-keluarga Saudi itu begitu tertutup. Pembantu rumah tangga kalau masuk ke rumah tangga Saudi akan jadi begitu terisolir, begitu sulit berhubungan dengan kedutaan besar."
"Hak-hak mereka sebagai tenaga kerja kurang diperhatikan dan mereka kadang-kadang bekerja terlalu panjang waktunya, sehingga timbullah frustrasi, stres. Lalu ada gangguan-gangguan sendiri berasal dari berbedanya kebudayaan," tambah Alhadar.
Sementara Ali Munhanif mengharapkan kunjungan Raaja Salman akan lebih menyeimbangkan neraca perdagangan yang saat ini lebih menguntungkan Arab Saudi.
"Kalau melihat reformasi manajemen berbagai perusahaan migas nasional disini, sebenarnya Indonesia bisa dengan sangat mudah mengajukan penyulingan minyak Saudi, gas dan seterusnya, yang saya kira akan semakin mempererat ketergantungan Indonesia kepada Arab Saudi. Kalau tidak dilakukan maka masyarakat Indonesia akan terus kritis terhadap Saudi, terkait dengan kepentingan keamanan nasionalnya," kata Ali.
Hubungan ekonomi kedua negara mencapai sekitar US$2 miliar atau Rp26 triliun per tahun namun tahun 2016 terjadi penurunan sekitar 36% karena anjloknya harga minyak dunia.
Simak juga : KONTAK PERKASA FUTURES
Sumber : www.bbc.com