Likuiditas tinggi yang didukung fundamental kuat, ditambah kemampuan memberi nilai tambah kekayaan (wealth added index – WAI), menjadikan saham sebuah perusahaan di Bursa Efek Indonesia terus menjadi primadona di pasar saham. Demi memperoleh return
yang tinggi dan di saat bersamaan meminimalkan risiko, investor umumnya
memilih perusahaan terpercaya dan memiliki profitabilitas yang tinggi.
Salah satu alat ukurnya adalah kinerja perusahaan, khususnya analisis
laporan keuangan, termasuk laporan laba rugi. Semakin tinggi laba, maka
dividen yang diperoleh akan semakin tinggi pula.Akan tetapi, laba tinggi saja tidak cukup. Ada unsur lain yang bisa menjadi masukan, yaitu wealth added index
(WAI), atau kemampuan perusahaan dalam memberi nilai tambah kekayaan.
WAI adalah metode pengukuran kinerja perusahaan yang dikembangkan oleh
Stern Value Management, sebagai indikator untuk menentukan peningkatan
kekayaan yang dihasilkan perusahaan di atas return minimal yang diharapkan investor. Dalam menghitung WAI, harapan akan return itu didasarkan pula pada potential cost plus risiko yang ditanggung investor, yang kemudian diterjemahkan dalam cost of equity (CoE). Sebuah perusahaan yang baik akan menghasilkan WAI positif, yaitu bila total return yang dihasilkan untuk pemegang saham (Total Shareholder Return - TSR) lebih besar dari CoE-nya.Artinya, jika saham perusahaan hanya menghasilkan TSR sama besar dengan CoE-nya, maka saham itu dianggap belum menghasilkan wealth added. Belakangan ini, WAI menjadi salah satu rujukan untuk menentukan perusahaan yang prospektif untuk berinvestasi. Berdasarkan perhitungan harian data dari Bloomberg periode 2009-2013, Majalah SWA memeringkat 100 perusahaan Indonesia
dengan WAI terbesar 2014. Dalam daftar SWA 100 Indonesia’s Best Wealth
Creator 2014, itu, BCA (BBCA) menduduki peringkat ke-4 di bawah PT HM
Sampoerna Tbk (HMSP), PT Astra International Tbk (ASII), dan PT Unilever
Indonesia Tbk (UNVR). Namun untuk sektor perbankan, BCA menjadi
perusahaan dengan WAI tertinggi, mengungguli bank-bank BUMN
berkapitalisasi pasar terbesar. Prestasi ini sama dengan capaian
peringkat tahun lalu. Menurut Direktur Utama BCA, Jahja
Setiaatmadja, selain mempertahankan likuiditas tinggi, meningkatkan
profitabilitas dan memperkokoh permodalan, BCA senantiasa bersikap
transparan untuk menjaga kepercayaan dan ekspektasi investor. “Kami
tidak pernah memberikan janji palsu. Kami cerita apa adanya. Dengan
transparansi, investor mengapresiasi kami. Jadi kuncinya adalah
transparan,” tegas Jahja. Dari waktu ke waktu, saham BCA selalu diminati bahkan diburu investor lantaran memberikan return yang tinggi. Bagi para investor di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham
BCA selalu menjadi primadona. BBCA selalu menjadi 'penghuni tetap' di
indeks Papan Utama (MBX), indeks LQ45, indeks Bisnis-27, indeks Kompas
100, dan kini berada dalam kelompok saham bluechip. Kinerja
konsisten dan fundamental perusahaan membuat saham BCA kerap melampaui
ekspektasi investor. BBCA pun sering menjadi katalis IHSG, dan menjadi
saham yang diburu investor asing, seperti pada 2013 lalu. Banjir dana
asing sejak Februari 2014 yang antara lain berburu saham perbankan,
tentu saja termasuk BBCA. Selama 2013, saham BBCA berhasil
tumbuh 4,39 persen berkat kinerja perusahaan yang sangat bagus. Kinerja
bagus pada semester I tahun ini, yaitu mencatatkan laba senilai Rp7,85
triliun (naik 24,2 persen), mengantar saham BBCA menembus level
resistance. Analis Vibiz Research dari Vibiz Consulting, harga
saham BBCA sejak akhir Juni terus mengalami penguatan, masih akan
menguat dan menunggu sentimen fundamental. Data pergerakan saham BBCA
periode 4-15 Agustus 2014, menunjukkan nilai saham BBCA terus naik dari
Rp11.725 menjadi Rp11.800. Sekadar informasi, sebuah bank bisa
disebut sehat jika CAR-nya minimal 8 persen, sebagaimana yang berlaku di
seluruh dunia. Sementara itu, CAR BCA terus naik dan kini berada di
level 17 persen. Menurut pakar ekonomi dan keuangan, Fadhil
Hasan, kinerja saham perbankan berkapitalisasi besar seperti BCA, akan
tetap menarik pada tahun depan. Terutama karena fenomena spread suku
bunga perbankan di Indonesia yang sampai saat ini relatif tinggi
dibanding negara-negara lain. “Selisih suku bunga
tersebut akhirnya terefleksikan dari keuntungan bank-bank di Indonesia
yang labanya relatif meningkat dari tahun ke tahun,” jelasnya. Berkaitan
dengan dinamika situasi dan kondisi lingkungan strategis, Fadhil
menilai tidak terlalu mempengaruhi minat investor berinvestasi. Apalagi
setelah Pemilu Legislatif dan Pilpres berjalan aman, tertib, lancar dan
konstitusional. “Hingga akhir tahun tren pertumbuhan pasar modal akan
berlanjut seiring optimisme ekonomi di awal pemerintahan baru,” Fadhil
menambahkan. (adv)