Kontak Perkasa Futures - Sejumlah perusahaan asal China yang terdaftar di bursa Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan mencatatkan saham di Bursa Hong Kong pada tahun ini. Langkah ini diambil lantaran tingginya tensi antara AS-China menyusul undang-undang keamanan nasional baru yang diterapkan China di Hong Kong.
CEO Hong Kong Exchanges and Clearing Ltd, Charles Li, mengatakan langkah sejumlah perusahaan China kembali ke Hong Kong akan mendorong jumlah penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) bakal lebih semarak lagi di kota administrasi China ini.
"Ini akan menjadi tahun yang besar bagi IPO, termasuk IPO besar dari Tiongkok. [Emiten] yang kembali sangat besar [kapitalisasi pasarnya], apa yang kita sebut mereka, dari AS," kata Charles Li, dilansir Reuters, Jumat (5/6/2020), melalui webcast pada konferensi industri yang diadakan oleh bank investasi asal AS, Piper Sandler.
Presiden AS Donald Trump pada Jumat pekan lalu menegaskan pemerintahannya akan menghilangkan perlakuan khusus bagi Hong Kong menyusul undang-undang keamanan baru yang diterapkan China. UU tersebut dinilai akan membuat AS mencabut kembali status Hong Hong sebagai salah satu pusat keuangan global.
Perusahaan-perusahaan China yang tercatat di bursa AS (Wall Street) baik di New York Stock Exchange maupun Nasdaq, juga tengah tertekan, mengingat Nasdaq akan memperkenalkan kebijakan baru yang fokus pada transparansi. Kebijakan baru Nasdaq ini berpotensi membuat gerak bisnis perusahaan China terbatas, mau tak mau berpotensi terdepak dari Wall Street.
Li mengatakan, banyak perusahaan China yang mencatatkan saham di AS sebetulnya karena mereka tidak dapat memenuhi syarat untuk tercatat di Bursa Hong Kong, yang sampai saat ini memiliki standar pencatatan yang lebih ketat ketimbang AS, misalnya persyaratan hak tata kelola dan saham kelas ganda.
Beberapa perusahaan seperti itu masih tidak memenuhi syarat untuk mendaftar di Hong Kong, dan "kami sebenarnya tidak menginginkannya," kata Li.
"Tapi semua perusahaan besar yang kita tahu akan kembali, mereka sudah memenuhi syarat [untuk mencatatkan saham]," katanya, sembari menekankan perusahaan-perusahaan China yang akan 'mudik' itu berasal dari sektor teknologi.
"Mencatatkan saham di Hong Kong, di papan primer atau sekunder akan memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut lebih dekat dengan basis pelanggan utama mereka," katanya.
"Hari ini suasana di AS menjadi kurang bersahabat dan kami jelas secara mendasar akan mengubah banyak aspek dari pencatatan saham kami sehingga kami menjadi lebih akomodatif," katanya.
RUU ini akan membuat perusahaan-perusahaan China yang tercatat di bursa AS seperti Alibaba Group Holding Ltd. dan Baidu Inc. bisa terdepak dari bursa saham AS di tengah hubungan kedua negara yang makin tegang.
Kedua senator inisiator RUU tersebut yakni John Kennedy, senator Louisiana dari Partai Republik, dan Chris Van Hollen, senator Demokrat dari Maryland. Baik Kennedy dan Van Hollen menegaskan bahwa beleid yang tengah diperjuangkan ini bertujuan demi menjaga kepentingan investor AS.
RUU tersebut sudah diloloskan oleh Senat pada Rabu (20/5/2020) waktu AS, tinggal menunggu kelanjutan dari DPR AS (House of Representatives). Kongres AS yang terdiri dari DPR dan Senat ini nantinya akan meloloskan undang-undang yang disepakati oleh Senat, yang kemudian dikirim ke Presiden Donald Trump untuk diratifikasi.
Dalam pernyataan Kennedy di situs resminya, kennedy.senate.gov, dia menjelaskan latar belakang kenapa RUU ini bisa lahir.
RUU Akuntabilitas Perusahaan Asing ini akan mendorong perusahaan asing mana pun yang terdaftar (listing) atau mencatatkan sahamnya di salah satu bursa saham AS mematuhi audit dari Dewan Pengawas Akuntansi Perusahaan Publik (Public Company Accounting Oversight Board/PCAOB) selama 3 tahun berturut-turut.
RUU itu juga akan meminta perusahaan publik untuk mengungkapkan apakah mereka dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah asing, termasuk pemerintah komunis China.
Source CNBC indonesia