Kontak Perkasa – Terbatasnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN dibandingkan target dari capaian pembangunan nasional membuat pemerintah akhirnya harus menutup defisit dengan sejumlah kebijakan pinjaman atau utang.
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto hingga Jokowi, tambal sulam APBN terus dilakukan guna menjaga target pembangunan nasional tercapai. Upaya tersebut diakui pemerintah terus dijaga kesehatannya sehingga APBN tetap prudent.
Bahkan, pemerintahan Presiden Jokowi terang-terangan menyatakan bahwa bertambahnya utang pemerintah dilakukan hanya untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang infrastruktur dari negara tetangga.
Adapun berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga 30 September 2017 total outstanding utang pemerintah telah mencapai Rp3.866,4 triliun atau setara US$286,5 miliar.
Angka tersebut naik sekitar Rp1.257,6 triliun dibandingkan jumlah utang yang ditinggalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada akhir 2014 lalu yang sebesar Rp2.608,8 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jumlah utang RI saat ini memang secara nominal meningkat dari tahun ke tahun. Namun hal itu tentu harus dilihat secara keseluruhan karena utang digunakan untuk mengejar tujuan APBN.
Menurut dia, utang RI saat ini jika dibandingkan dengan sejumlah negara maju di dunia secara nominal sangat kecil. Bahkan, seperti Jepang dan AS saja utang RI justru kecil sekali dan secara GDP terus menurun.
"Jadi APBN dan utang itu instrumen bukan tujuan. Dan jika ada yang bilang nominal utang semakin tinggi, kita tidak menuju ke sana. Sebab, UU kita tidak bolehkan utang lebih dari 60 persen PDB," tegasnya beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data yang dihimpun VIVA, sejak krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 Presiden Soeharto telah meninggalkan utang pemerintah sebesar Rp551 triliun atau setara US$68,7 miliar.
Kemudian, utang berlanjut di pemerintahan Presiden BJ Habibie pada akhir 1999 dengan outstanding mencapai Rp938,8 triliun atau setara US$132,2 miliar. Lalu, Presiden Gus Dur pada akhir 2001 naik menjadi Rp1.232,8 triliun.
Sementara, pada era Presiden Megawati utang yang ditinggalkan pada 2004 mencapai Rp1.298 triliun atau setara US$139,7 miliar. Dan pada era SBY selesai pada 2014 utang ditinggalkan sebesar Rp2.608,8 triliun.
Sejak pemerintahan Presiden Soeharto hingga Jokowi, tambal sulam APBN terus dilakukan guna menjaga target pembangunan nasional tercapai. Upaya tersebut diakui pemerintah terus dijaga kesehatannya sehingga APBN tetap prudent.
Bahkan, pemerintahan Presiden Jokowi terang-terangan menyatakan bahwa bertambahnya utang pemerintah dilakukan hanya untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang infrastruktur dari negara tetangga.
Adapun berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga 30 September 2017 total outstanding utang pemerintah telah mencapai Rp3.866,4 triliun atau setara US$286,5 miliar.
Angka tersebut naik sekitar Rp1.257,6 triliun dibandingkan jumlah utang yang ditinggalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada akhir 2014 lalu yang sebesar Rp2.608,8 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, jumlah utang RI saat ini memang secara nominal meningkat dari tahun ke tahun. Namun hal itu tentu harus dilihat secara keseluruhan karena utang digunakan untuk mengejar tujuan APBN.
Menurut dia, utang RI saat ini jika dibandingkan dengan sejumlah negara maju di dunia secara nominal sangat kecil. Bahkan, seperti Jepang dan AS saja utang RI justru kecil sekali dan secara GDP terus menurun.
"Jadi APBN dan utang itu instrumen bukan tujuan. Dan jika ada yang bilang nominal utang semakin tinggi, kita tidak menuju ke sana. Sebab, UU kita tidak bolehkan utang lebih dari 60 persen PDB," tegasnya beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data yang dihimpun VIVA, sejak krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 Presiden Soeharto telah meninggalkan utang pemerintah sebesar Rp551 triliun atau setara US$68,7 miliar.
Kemudian, utang berlanjut di pemerintahan Presiden BJ Habibie pada akhir 1999 dengan outstanding mencapai Rp938,8 triliun atau setara US$132,2 miliar. Lalu, Presiden Gus Dur pada akhir 2001 naik menjadi Rp1.232,8 triliun.
Sementara, pada era Presiden Megawati utang yang ditinggalkan pada 2004 mencapai Rp1.298 triliun atau setara US$139,7 miliar. Dan pada era SBY selesai pada 2014 utang ditinggalkan sebesar Rp2.608,8 triliun.