PT. KONTAK PERKASA FUTURES - Amerika Serikat berencana menjual senjata kepada Taiwan dengan nilai USD1,42 miliar atau setara Rp18,9 triliun (estimasi kurs Rp13.346/USD). Mengutip dari Reuters, Jumat (30/6/2017), penjualan senjata ke Taiwan di bawah pemerintahan Donald Trump ini, ditengarai akan membuat China kesal.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan bahwa Kongres sudah menyetujui rencana penjualan senjata tersebut. Nilai sebesar USD1,42 miliar ini termasuk dukungan teknis untuk radar peringatan dini, rudal anti-radiasi dengan kecepatan tinggi, torpedo, dan komponen rudal.
Nauert mengatakan penjualan tersebut merupakan dukungan Amerika terhadap Taiwan untuk mempertahankan diri. Meski demikian, Amerika Serikat tidak akan mengubah kebijakan “Satu China” yang telah berlangsung sejak 1979.
Boleh jadi, penjualan ini sebagai strategi Tit for Tat dari Amerika, dimana China dinilai kurang mampu untuk menekan sekutunya Korea Utara dalam meredam ambisi uji coba rudal Kim Jong-un.
Penjualan senjata AS ke Taiwan ini juga menjadi yang pertama di bawah era Trump, dimana sebelumnya pada Desember 2015, Barack Obama telah menyetujui penjualan senjata senilai USD1,83 miliar, yang membuat China cemas. Paket penjualan era Obama, termasuk dua kapal frigat angkatan laut, rudal anti-tank, dan kendaraan pengangkut amfibi.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan paket terbaru penjualan ini untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Taiwan, yang sebelumnya era analog menjadi era digital.
Kementerian Pertahanan Taiwan sendiri menyebut pengadaan alat utama sistem persenjataan ini akan meningkatkan kemampuan tempur, tempur laut, dan pertahanan peringatan dini. "Kami akan secepat mungkin mendiskusikan dengan Amerika Serikat mengenai pembelian, durasi, jumlah dan rincian lainnya, dan merencanakan anggaran tindak lanjut," kata Kementerian Pertahanan Taiwan.
Partai Republik AS mengatakan penjualan ini juga sebagai langkah konsolidasi kemitraan keamanan untuk menjaga stabilitas jangka panjang di kawasan Asia Timur.
“Penjualan senjata pertahanan untuk kebutuhan Taiwan, merupakan ketentuan utama dari komitmen kami sebagaimana Taiwan Relations Act dan Six Assurances,” kata Ed Royce dari Partai Republik, mengacu kepada undang-undang dan pedoman informal hubungan AS dengan Taiwan.
Undang-undang tadi membuat China geram dengan Washington. Pada Kamis kemarin, China menyerukan pihaknya melakukan aksi unjuk rasa setelah Komite Senat AS juga menyetujui sebuah RUU yang menyerukan dimulainya kembali kunjungan Angkatan Laut AS ke Pelabuhan Taiwan. Sejak 1979 alias sejak AS mengakui “Satu China”, angkatan laut mereka absen mengunjungi pelabuhan di Taiwan.
RUU baru ini juga mengarahkan Departemen Pertahanan AS alias Pentagon untuk membantu Taiwan mengembangkan program perang bawah laut demi memperkuat kerja sama strategis dengan Taipei.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan beleid di atas melanggar prinsip-prinsip hubungan AS-China, dan meminta Washington untuk menghentikan latihan militer dan penjualan senjata ke Taiwan.
Pejabat AS mengatakan kepada Reuters, bahwa penjualan di bawah era Trump ini, karena Amerika sudah frustasi dengan China yang dianggap tidak serius dalam bertindak kepada Korea Utara dan mengatasi defisit perdagangan.
Menurut pejabat tersebut, Trump sekarang mulai mempertimbangkan kembali perdagangan terhadap Beijing. Padahal pada April lalu, kedua negara sepakat untuk meningkatkan hubungan perdagangan setelah kedatangan Presiden China Xi Jinping ke resor Mar-a-Lago di Florida, Miami.
Bagi China sendiri, mereka bisa menggagalkan penjualan ini dengan memanfaatkan pertemuan KTT G20 di Jerman pada pekan depan. Penasihat Keamanan Nasional AS McMaster mengatakan kepada media massa, dalam pertemuan G20 ada rencana Trump bertemu dengan Xi.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan bahwa Kongres sudah menyetujui rencana penjualan senjata tersebut. Nilai sebesar USD1,42 miliar ini termasuk dukungan teknis untuk radar peringatan dini, rudal anti-radiasi dengan kecepatan tinggi, torpedo, dan komponen rudal.
Nauert mengatakan penjualan tersebut merupakan dukungan Amerika terhadap Taiwan untuk mempertahankan diri. Meski demikian, Amerika Serikat tidak akan mengubah kebijakan “Satu China” yang telah berlangsung sejak 1979.
Boleh jadi, penjualan ini sebagai strategi Tit for Tat dari Amerika, dimana China dinilai kurang mampu untuk menekan sekutunya Korea Utara dalam meredam ambisi uji coba rudal Kim Jong-un.
Penjualan senjata AS ke Taiwan ini juga menjadi yang pertama di bawah era Trump, dimana sebelumnya pada Desember 2015, Barack Obama telah menyetujui penjualan senjata senilai USD1,83 miliar, yang membuat China cemas. Paket penjualan era Obama, termasuk dua kapal frigat angkatan laut, rudal anti-tank, dan kendaraan pengangkut amfibi.
Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan paket terbaru penjualan ini untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Taiwan, yang sebelumnya era analog menjadi era digital.
Kementerian Pertahanan Taiwan sendiri menyebut pengadaan alat utama sistem persenjataan ini akan meningkatkan kemampuan tempur, tempur laut, dan pertahanan peringatan dini. "Kami akan secepat mungkin mendiskusikan dengan Amerika Serikat mengenai pembelian, durasi, jumlah dan rincian lainnya, dan merencanakan anggaran tindak lanjut," kata Kementerian Pertahanan Taiwan.
Partai Republik AS mengatakan penjualan ini juga sebagai langkah konsolidasi kemitraan keamanan untuk menjaga stabilitas jangka panjang di kawasan Asia Timur.
“Penjualan senjata pertahanan untuk kebutuhan Taiwan, merupakan ketentuan utama dari komitmen kami sebagaimana Taiwan Relations Act dan Six Assurances,” kata Ed Royce dari Partai Republik, mengacu kepada undang-undang dan pedoman informal hubungan AS dengan Taiwan.
Undang-undang tadi membuat China geram dengan Washington. Pada Kamis kemarin, China menyerukan pihaknya melakukan aksi unjuk rasa setelah Komite Senat AS juga menyetujui sebuah RUU yang menyerukan dimulainya kembali kunjungan Angkatan Laut AS ke Pelabuhan Taiwan. Sejak 1979 alias sejak AS mengakui “Satu China”, angkatan laut mereka absen mengunjungi pelabuhan di Taiwan.
RUU baru ini juga mengarahkan Departemen Pertahanan AS alias Pentagon untuk membantu Taiwan mengembangkan program perang bawah laut demi memperkuat kerja sama strategis dengan Taipei.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan beleid di atas melanggar prinsip-prinsip hubungan AS-China, dan meminta Washington untuk menghentikan latihan militer dan penjualan senjata ke Taiwan.
Pejabat AS mengatakan kepada Reuters, bahwa penjualan di bawah era Trump ini, karena Amerika sudah frustasi dengan China yang dianggap tidak serius dalam bertindak kepada Korea Utara dan mengatasi defisit perdagangan.
Menurut pejabat tersebut, Trump sekarang mulai mempertimbangkan kembali perdagangan terhadap Beijing. Padahal pada April lalu, kedua negara sepakat untuk meningkatkan hubungan perdagangan setelah kedatangan Presiden China Xi Jinping ke resor Mar-a-Lago di Florida, Miami.
Bagi China sendiri, mereka bisa menggagalkan penjualan ini dengan memanfaatkan pertemuan KTT G20 di Jerman pada pekan depan. Penasihat Keamanan Nasional AS McMaster mengatakan kepada media massa, dalam pertemuan G20 ada rencana Trump bertemu dengan Xi.
Simak juga : PT. KONTAK PERKASA FUTURES
Sumber : ekbis.sindonews