Disclaimer : Semua artikel dan konten yang terdapat dalam portal ini hanya bersifat informasi saja. Kami tidak bertanggung jawab terhadap semua kerugian baik langsung maupun tidak langsung yang dialami oleh pembaca atau pihak lain akibat menggunakan informasi dari portal kami.

27 Maret 2018

PT Kontak Perkasa Futures | PK Ditolak, Peluang Ahok Jadi Cawapres Tertutup


Kontak Perkasa, Jakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) disebut sudah menutup pintu bagi mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama alias Ahok untuk menjadi calon Wakil Presiden.

"Dengan putusan ini tertutup peluang Ahok masuk ke dalam list [cawapres]," kata pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Firman Manan, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (26/3).

Pada Senin (26/3), juru bicara MA Suhadi memastikan bahwa PK Ahok dalam kasus penodaan agama ditolak. Majelis hakim terdiri dari Artidjo Alkostar sebagai ketua, dan Salman Luthan serta Sumardijatmo sebagai anggota.

Di sisi lain, kasus Ahok tak menjadikannya benar-benar terlempar dari bursa cawapres untuk Pemilu 2019. Salah satunya, hasil survei Publik Opinion & Populi Research (Populi Center) pada 28 Februari 2018 yang menempatkan Ahok dengan elektabilitas sebesar 2 persen.


"Walau ada beberapa nama lain, tapi Ahok sempat disebut sebagai cawapres," lanjut Firman.

Menurutnya, setiap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan melihat arah sentimen publik terhadap Ahok. Sementara, penolakan PK ini membuat Ahok harus melanjutkan sisa hukumannya.

Firman menyatakan pintu bagi Ahok kembali ke dunia politik dalam jangka panjang masih terbuka. Hal itu terlihat pada sejumlah politikus mantan terpidana yang tetap bisa kembali ke dunia politik. Namun, status mantan narapidana kasus penodaan agama dinilai akan memicu sentimen tertentu.

"Kasus Ahok coverage luas dan isunya sensitif. Maka memang kalau ada peluang, agak berat untuk comeback. Tapi bukan tidak mungkin, bisa saja orang berpikir sebaliknya," tuturnya.

Yang paling memungkinkan bagi Ahok, kata Firman, adalah posisi tim sukses. Misinya, terutama, bergerak di kalangan atau elemen tertentu. Menurut dia, hal ini mungkin terjadi mengingat Ahok masih memiliki pendukung yang loyal.

"Sekarang pun [bisa] dalam posisi dia masih di [Rutan] Mako Brimob, tetapi dia endorse pada massa pendukungnya, apalagi yang loyal. Masih sangat memungkinkan," ujarnya.

Terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul mengatakan penolakan PK ini membuat langkah hukum bagi Ahok telah habis.

Menurutnya, Ahok tidak bisa mengajukan PK lagi selama belum menemukan novum atau bukti baru dalam kasusnya.

"[Langkah hukumnya] habis. Dulu saya bilang kenapa terburu-buru ajukan PK, semestinya tunggu," cetus dia.

Dia pun mengaku telah menduga MA akan menolak PK yang diajukan Ahok. Menurutnya, dasar pengajuan PK tersebut bertentangan dengan persyaratan yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permintaan PK dilakukan atas dasar, pertama, terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Kedua, apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.

Ketiga, apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Chudry menerangkan bahwa Ahok tidak bisa mendasari pengajuan PK dengan putusan Pengadilan Negeri Bandung atas terdakwa Buni Yani dalam kasus ujaran kebencian. Menurutnya, peristiwa pidana yang terjadi dalam kasus Ahok dan Buni Yani berbeda.

"Pertimbangan itu bukan alasan untuk ajukan PK. Memang betul ada pertentangan, tapi pertentangan Buni Yani dan Ahok ini peristiwanya beda. Kalau Ahok ucapan dia di Kepulauan Seribu, kalau Buni Yani ini merusak berita asli yang dia ubah," ucapnya.

Terlepas dari itu, Ahok memiliki kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi atau pengampunan kepada Presiden Joko Widodo. Namun, grasi tidak menghapus tindak pidana yang pernah dilakukannya.

"Peristiwa [penodaan agama] itu tetap dibilang salah, hanya tidak dihukum [jika diberi grasi]. Kalau PK, dibilang terbukti bebas artinya peristiwa itu dibilang tidak terbukti salah, bukan peristiwa pidana," jelasnya.